Telusuri

Kaidah Ushuliyyah Dalam Ushul Fiqih

A. Pendahuluan
Nash atau teks Al-Qur’an dan Hadits dalam teori terbagi dua, qoth’i (pasti) dan dhonni (dugaan). Itu dipandang dari segi dalalah dan wurud (penunjukan makna dan datangnya) nash. Sedang nash qoth’i itu sendiri bisa digolongkan menjadi tiga: Kalamiyyah, Ushuliyyah, dan Fiqhiyyah.
Yang dimaksud kalamiyyah ialah naqliyah semata, dan dalam hal ini yang benar hanya satu. Maka barangsiapa yang melakukan kesalahan terhadap hal ini, ia berdosa. Nash jenis ini di antaranya tentang kejadian alam dan penetapan wajib adanya Allah dan sifat-sifatNya, diutusnya para rasul, mempercayai mereka dan mu’jizat-mu’jizatnya dan sebagainya. Kemudian apabila kesalahan seseorang itu mengenai keimanan kepada Allah dan rasul-Nya maka yang bersalah itu kafir, kalau tidak maka ia berdosa dari segi bahwa ia menyimpang dari kebenaran dan tersesat.
Adapun ushuliyyah adalah seperti ijma’ dan qiyas serta khabar ahad sebagai hujjah, maka masalah-masalah ini dalil-dalilnya adalah qoth’iyyah. Orang yang menyalahinya adalah berdosa.
Mengenai masalah fiqhiyyah yang termasuk keadaan qoth’i yaitu shalat 5 waktu, zakat, puasa, pengharaman zina, pembunuhan, pencurian, minun khamar/ arak dan semua yang diketahui secara pasti dari agama Allah. Maka yang benar dari masalah-masalah itu adalah satu, dan itulah yang diketahui. Sedang orang yang menyalahinya adalah berdosa.
Setelah kita mengetahui yang qoth’i seperti tersebut, maka bisa ditarik garis sebagai berikut:
1. Apabila seseorang menyelisihi hal-hal yang diketahui secara dhoruri dari maksud al-Syari’ (hal-hal yang setiap Muslim wajib tahu), maka ia adalah kafir, karena pengingkarannya tidak timbul kecuali dari orang yang mendustakan syara’. (Misalnya orang mengingkari keesaan Allah, mengingkari wajibnya shalat 5 waktu, wajib puasa Ramadhan dsb, maka pengingkarnya itu adalah kafir).
2. Apabila masalahnya mengenai hal yang diketahui secara pasti, dengan jalan penyelidikan, seperti hukum-hukum yang dikenal dengan ijma’, maka pengingkarnya bukan kafir, tetapi ia bersalah dan berdosa. (Contohnya, mengingkari tidak bolehnya perempuan mengimami shalat lelaki, maka pengingkarnya adalah berdosa).
3. Adapun masalah fiqhiyyah yang dhonni, yang tidak mempunyai dalil pasti, maka masalah ini jadi tempat ijtihad dan tidak ada dosa atas mujtahid dalam masalah itu menurut orang yang berpendapat bahwa yang tepat adalah satu, dan tidak (berdosa) pula menurut orang yang mengatakan setiap mujtahid adalah tepat.

B. Pengertian dan fungsi Qaidah Ushuliyyah
Pengertian qaidah secara etimologi adalah asas (dasar), yaitu yang menjadi dasar berdirinya sesuatu. Atau dapat juga diartikan sebagai dasar sesuatu dan fondasinya (pokoknya). 2
Sementara itu Ushuliyyah adalah Dalil syara’ yang bersifat menyeluruh, universal, dan global (kulli dan mujmal). Jika objek bahasan ushul fiqih antara lain adalah qaidah penggalian hukum dari sumbernya, dengan demikian yang dimaksud dengan qaidah ushuliyyah adalah sejumlah peraturan untuk menggali hukum. Qaidah ushuliyyah itu umumnya berkaitan dengan ketentuan dalalah lafaz atau kebahasaan.
Sumber hukum adalah wahyu yang berupa bahasa, sementara qaidah ushuliyyah itu berkaitan dengan bahasa. Dengan demikian qaidah ushuliyyah berfungsi sebagai alat untuk menggali ketentuan hukum yang terdapat dalam bahasa (wahyu) itu.
Menguasai qaidah ushuliyyah dapat mempermudah fakif untuk mengetahui hukum Allah dalam setiap peristiwa hukum yang dihadapinya. Dalam hal ini Qaidah fiqhiyah pun berfungsi sama dengan qaidah ushuliyyah, shingga terkadang ada suatu qaidah yang dapat disebut qaidah ushuliyyah dan qaidah fiqkiyah.

C. Beberapa Contoh Qaidah Ushuliyyah
a.Yang dipandang dasar(titik talak) adalah petunjuk umum dasar lafazh bukan sebab Khusus (latar belakang kejadian)
b.Bila dalil yang menyuruh bergabung dengan dalil yang melarang maka didahulukan Dalil yang melarang.
c.Makna implicit tidak dijadikan dasar bila bertentangan dengan makna eksplisit.
d.Lafazh nakirah dalam kalimat negatif(nafi) mengandung pengertian umum.
e.Petunjuk nash didahulukan daripada petunjuk zahir.
f.Petunjuk perintah (amr) menunjukan wajib. Seperti contoh kasus fiqhnya pada QS 5/1 (memenuhi janji adalah wajib).
g.Tidak dibenarkan berijtihad dalam masalah yang ada nash-nya.
h.Dalalah lafazh mutlak dibawa pada dalalah lafazhmuqayyad.
i.Perintah terhadap sesuatu berarti larangan atas kebalikannya.

D. Lafazh Dan Dalalahnya
1. Pengertian Mujmal dan Mubayyan
Hampir delapan puluh persen penggalian hukum syariah menyangkut lafazh. Agar tidak membingungkan para pelaku hukum, maka lafazh–lafazh yang menunjukkan hukum harus jelas dan tegas, kenyataannya petunjuk (dilalah) lafazh-lafazh yang terdapat dalam nash syara ‘itu beraneka ragam, bahkan ada yang kurang jelas (khafa).
Suatu lafazh yang tidak mempunyai kemungkinan makna lain disebut mubayyan atau nash. Bila ada dua makna atau lebih tanpa diketahui yang lebih kuat disebut mujmal. Namun bila ada makna yang lebih tegas dari makna yang ada disebut zhahir. Dengan demikian yang disebut mujmal adalah lafazh yang cocok untuk berbagai makna, tetapi tidak ditentukan makna yang tidak dikehendaki, baik melalui bahasa maupun menurut kebiasaan pemakaiannya (Al-ghazali:145).
Sifat mujmal itu dapat terjadi pada kosa kata (mufradat), seperti lafazh guru’ bisa berarti suci dan haid, dapat juga terjadi pada kata majemuk (munkkab) seperti mukhathab yang terdapat pada surat Al-baqarah: 237, yang bisa berarti suami atau wali. Terdapat juga pada kata kerja seperti lafazh asas yang bisa berarti menghadap dan membelakangi, pada huruf seperti pada wauataf bisa berarti memulai dan menyambungkan (dan).
Hukum melaksanakan lafazh mujmal bergantung pada bayan atau penjelasan. Untuk mengungkap lafazh tersebut dapat digunakan beberapa teori yang telah di ungkapkan oleh para ulama terdahulu. Demikian juga terdapat beberapa teori ulama tentang tingkat kejelasan lafazh dan cara memadukan antara tingkatan-tingkatan jelas tidaknya suatu lafazh.Hal tersebut akan diuraikan lebih lanjut.

2. Tingkatan Lafazh dari Segi Kejelasannya.
Ada dua kelompok pendapat tentang tingkat dilalah Lafazh dari segi kejelasan, Golongan Hanafiyah dan Golongan Mutakalimin. Masing-masing digambarkan dengan bagan berikut:
Pembagian lafazh itu sebenarnya dilihat dari segi mungkin atan tidaknya di-takwil atau di-nasakh. Dilihat dari peringkat kejelasan lafazh itu Menurut golongan Hanafiyah, dimulai dari yang jelasnya bersifat sederhana (Zhahir), cukup jelas (nash), sangat jelas (mufassar), dan super jelas (muhkam).
2.1 Pembagian Lafazh dari Segi Kejelasannya menurut Ulama Hanafiah
2.1.1 Zhahir
Berikut beberapa definisi tentang Zahir:
“Suatu nama bagi seluruh perkataan yang jelas maksudnya bagi pendengar, melalui bentuk lafazh itu sendiri.” ( Bazdawi, 1307 H. I:46)
“Sesuatu yang dapat diketahui maksudnya dari pendengaran itu sendiri tanpa harus dipikirkan lebih dahulu.” ( As-Sarakhsi, 1372, I:164)
Untuk memahami zhahir itu tidak memerlukan petunjuk lain, melainkan langsung dari rumusan lafazh itu sendiri. Namun, lafazh itu tetap mempunyai kemungkinan lain, sehingga Muhammad Adib Salih menyimpulkan bahwa zhahir itu adalah:
“Suatu lafazh yang menunjukan suatu makna dengan rumusan lafazh itu sendiri tanpa menunggu qarinah yang ada diluar lafazh itu sendiri ,namun mempunyai kemungkinan ditakhsis, ditakwil, dan dinasakh.(Muhammad Adib Salih,1984,I : 143)
Contoh : ” Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Ayat tersebut petunjuknya jelas, yaitu mengenai halalnya jual beli dan haramnya riba. Petunjuk tsb diambil dari lafazh itu sendiri tanpa memerlukan Qarinah lain.
Masing-masing dari lafazh al-bay‘ dan ar-riba merupakan lafazh ‘amm yang mempunyai kemungkinan di-takhsis. Kedudukan lafazh zhahir adalah wajib diamalkannya sesuai petunjuk lafazh itu sendiri sepanjang tidak ada dalil yang mentakhsisnya, men-takwil-nya atau me-nasakh-nya.
2.1.2 Nash
Nash mempunyai tambahan kejelasan. Tambahan kejelasan tersebut tidak diambil dari rumusan bahasanya, melainkan timbul dari pembicara sendiri yang bisa diketahui dengan qarinah.
Menurut bahasa, Nash adalah raf ‘u asy-syai atau munculnya segala sesuatu yang tampak, sering disebut manashahat, menurut istilah didefinisikan sebagai berikut:
“ Suatu lafazh yang maknanya lebih jelas daripada zhahir bila ia dibandingkan dengan lafazh zhahir.” (Ad-Dabusi)
“Lafazh yang lebih jelas maknanya daripada makna lafazh zhahir yang diambil dari sipembicaranya bukan dari rumusan bahasa itu sendiri.” (Al-Bazdawi)
Muhammad Adib Salih berkesimpulan bahwa yang dimaksud Nash itu adalah:
“Nash adalah suatu lafazh yang menunjukkan hukum yang jelas, yang diambil menurut alur pembicaraan, namun ia mempunyai kemungkinan ditakhsish dan ditakwil yang kemungkinannya lebih lemah daripada kemungkinan yang terdapat dari lafazh zhahir. Selain itu, ia dapat dinasakh pada zaman risalah (zaman Rasul).”
Sebagai Contoh, pada contoh Zahir sebelumnya, dilalahnya tidak adanya persamaan hukum antara jual beli dan riba. Pengertiannya diambil dari susunan kalimat yang menjelaskan hukum. Disini nash lebih memberi kejelasan daripada zhahir (halalnya jual beli dan haramnya riba) karena maknanya diambil dari pembicaraan bukan dari rumusan bahasa.
Kedudukan hukum lafazh Nash sama dengan hukum lafazh zhahir, yaitu wajib diamalkan petunjuknya atau dilalah-nya asal tidak ada dalil yang menakwilkan, mentakhsis atau menasakhnya. Perbedaan antara zhahir dan nash adalah kemungkinan takwil, takhsis, atau nasakh pada lafazh nash lebih jauh dari kemungkinan yang terdapat pada lafazh zhahir. Oleh sebab itu, apabila terjadi pertentangan antara lafazh zhahir dengan lafazh nash, maka lafazh nash lebih didahulukan pemakaiannya dan wajib membawa lafazh zhahir pada lafazh Nash.
2.1.3 Mufassar
Mufassar adalah lafazh yang menunjukkan suatu hukum dengan petunjuk yang tegas dan jelas, sehingga petunjuknya itu tidak mungkin ditakwil atau ditakhsis, namun pada masa Rasullullah masih bisa dinasakh. Menurut (As-Sarakhsi, 372 H. I: 165 ):
“ Suatu nama untuk sesuatu yang terbuka dan dapat diketahui maksudnya dengan jelas serta tidak ada kemungkinan ditakwil.”
Dengan definisi ini maka kejelasan petunjuk mufassar lebih tinggi daripada petunjuk zhahir dan nash. Sebab pada petunjuk zhahir dan nash masih terdapat kemungkinan ditakwil atau ditaksis, sedangkan pada lafazh mufassar kemungkinan tersebut sama sekali tidak ada. Sebagai contoh firman Allah SWT:
“Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuannya; dan ketahuilah bahwasannya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” ( QS. At-Taubah : 36 )
Dilalah mufassar wajib diamalkan secara qath’i, sepanjang tidak ada dalil yang me-nasakh-nya. Apabila terjadi pertentangan antara dilalah mufassar dengan dilalah Nash dan zhahir maka dilalah mufassar harus didahulukan. Lafazh mufassar tidak mungkin dipalingkan artinya dari zhahir-nya, karena tidak mungkin ditakwil dan ditakhsis, melainkan hanya bisa di-nasakh atau diubah apabila ada dalil yang mengubahnya.
2.1.4 Muhkam
Muhkam menurut bahasa diambil dari kata ahkama, yang berarti atqama, yaitu pasti dan tegas. Secara istilah menurut As-Sarakhsi “Muhkam itu menolak adanya penakwilan dan adanya nasakh.”
Sehingga Muhkam adalah suatu lafazh yang menunjukan makna dengan dilalah tegas dan jelas serta qath’i, dan tidak mempunyai kemungkinan di-takwil, di-takhsis, dan dinasakh meskipun pada masa Nabi, lebih–lebih pada masa setelah Nabi.
Misalnya firman Allah SWT berikut yang sangat jelas dan tegas dan tidak mungkin diubah :
” Dan Allah Maha Mengetahui terhadap segala sesuatu.”
Apabila lafazh Muhkam khash, tidak bisa di-takwil dengan arti lain. Dan apabila lafazhnya ‘amm, tidak bisa di-takhsis dengan makna khash. Contoh Firman Allah SWT, tentang haramnya menikahi janda Rasullullah. Sehubungan dengan lafazh muhkam itu tidak bisa di-nashakh, maka muhkam itu terbagi kepada dua, ada muhkam dzat dan muhkam ghair dzat. Karena terkadang nasakh itu bisa dari nash itu sendiri atau dari luar nash.
Dilalah muhkam wajib diamalkan secara qath’i, tidak boleh dipalingkan dari maksud asalnya dan tidak boleh dihapus. Dilalah muhkam lebih kuat daripada seluruh macam dilalah yang disebut diatas. Jika terjadi pertentangan maka yang harus didahulukan adalah dilalah muhkam.

2.2 Kegunaan Pembagian Lafazh Menurut Kejelasannya dan Pengaruhnya
terhadap penetapan Hukum
2.2.1 Pertentangan antara zhahir dan nash
Misalnya dihalalkannya menikahi wanita tanpa dibatasi jumlahnya (Zhahir)
”dan dihalalkan bagi kamu apa yang dibelakang (selain) demikian itu bahwa kamu mencari dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina.” (QS. An-Nisa :24)
yang bertentangan dengan halalnya menikahi wanita itu dengan dibatasi empat orang saja (Nash).
”Dan jika kamu tidak dapat berlaku adil terhadap anak2 yatim (perempuan), maka kawinilah perempuan-perempuan yang kamu senangi dua, tiga, empat.Maka jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil maka (hendaklah cukup satu saja, atau kawinilah budak –budak yang kamu miliki…..” (QS. An-Nisa : 3).
Dilalah yang diambil adalah yang kedua, sebab dilalah yang kedua itu dilalah nash, dan dilalah nash lebih kuat daripada dilalah zhahir.
2.2.2 Pertentangan antara Muhkam dengan Nash
Misalnya, surat An-Nisa : 3 yang menghalakan menikahi wanita dengan dibatasi empat orang (Nash). Dengan Al-Ahjab ayat 53:
”Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasullullah dan tidak (pula) mengawini istri- istrinya sesudah ia wafat selama- lamanya……” (QS. Al- Ahzab : 53)
Walaupun dihalakan menikahi wanita mana saja termasuk janda Rasullullah dengan syarat tidak melebihi empat. Namun ayat Al-Ahjab ayat 53 mengharamkan mengawini janda Rasullullah .Dengan demikian maka harus diambil dilalah ayat yang kedua, karena dilalah ayat ini muhkam.
2.2.3 Pertentangan antara Nash dengan Mufassar
Dari ‘Aisyah, ia berkata “Fatimah binti Abu Hubaisy datang kepada Rasullullah dan ia berkata “sesungguhnya aku ini dalam keadaan mustahadah, sehingga aku tidak bisa bersuci, apakah aku harus meninggalkan shalat ?” Rasullullah menjawab. “tidak, Karena mustahadah bukan darah haid. Jauhilah shalat pada waktu haidmu, kemudian mandilah dan berwudulah untuk setiap shalat, dan shalatlah sekalipun dalam keadaan mustahadah.”( As-Syaukani, I : 299 ).
Dalam riwayat lain memakai ungkapan, “berwudulah setiap waktu shalat.” (Az-Zayla’i, I, t,t : 125).
Pada hadits pertama wanita mutahadah wajib berwudu untuk setiap shalat, sekali saja. sedangkan hadis riwayat kedua, untuk waktu seluruh shalat, sehingga berlaku untuk beberapa kali, dengan satu wudu selama waktu untuk melakukan shalat itu masih ada.
Hadis riwayat pertama berbentuk Nash, sedangkan hadis riwayat yang kedua berbentuk mufassar. Sehingga harus mendahulukan hadis kedua, karena termasuk mufassar.
2.2.4 Pertentangan antara Mufassar dengan Muhkam
“..dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu” ( QS. Ath- Thalaq : 2) dengan surat An – Nur ayat 4:
“….dan janganlah kamu terima persaksian mereka buat selama-lamanya”
Ayat pertama termasuk mufassar, diterimanya kesaksian yang adil dari siapa saja. Ayat kedua termasuk muhkam. Ayat ini menunjukkan tidak bisa diterima kesaksian orang yang menuduh zina (qadzaf ), sungguhpun ia bertobat. Dalam hal ini menurut sebagian ulama digunakan ayat yang kedua.
2.3 Tingkatan- Tingkatan Kejelasan Lafazh menurut Mutakalimin (Syafi’iyyah)
Menurut Imam Syafi’i tingkatan Kejelasan Lafazh hanya dua, yang tidak membedakan antara zhahir dengan nash. Pada perkembangan selanjutnya, setelah Imam Asy-Syafi’i, nash dan zhahir ini dibedakan pengertian masing-masing, Nash adalah suatu lafazh yang tidak mempunyai kemungkinan ditakwil, sedangkan zhahir mempunyai kemungkinan untuk ditakwil. Seperti yang diungkapkan oleh Al-Gazali, “Suatu lafazh yang sama sekali tidak mempunyai kemungkinan ditakwil, baik takwil dekat maupun takwil jauh.“ Dan ” Lafazh yang tidak mungkin ditakwil, yang diterima serta muncul dari dalil. Adapun kemungkinan yang didukung dengan dalil maka lafazh itu tidak keluar dari lafazh nash.” (Al–Gazali, I, 1322 H, : 385- 386).
3. Tingkatan Lafazh menurut Ketidakjelasannya.
3.1 Tingkatan Lafazh menurut Ketidakjelasan menurut Hanafiyah
3.1.1 khafi
Menurut bahasa adalah tidak jelas atau tersembunyi, sedangkan menurut istilah,
”suatu lafazh yang maknanya menjadi tidak jelas karena hal baru yang ada diluar lafazh itu sendiri, sehingga arti lafazh itu perlu diteliti dengan cermat dan mendalam.” (Al-Dabusi)
”suatu lafazh zhahir yang jelas maknanya, tetapi lafazh itu sendiri menjadi tidak jelas karena ada hal baru yang mengubahnya, sehingga untuk mengatasinya tidak ada jalan lain, kecuali dengan penelitian yang mendalam.” (Muhammad Adib Salih, 1982 : 230).
Sebagai contoh pengertian lafazh as-sariq yang tegas pada orang yang mengambil harta berharga milik orang lain secara diam-diam untuk dimiliki, pada tempat yang terpelihara. Jika pengertian ini diterapkan pada masalah lain yang sama, seperti pencopet, pencuri barang-barang dalam kuburan, korupsi, maka lafazh itu sendiri menjadi tidak tegas.
3.1.2 Musykil
Musykil menurut bahasa ialah sulit, atau sesuatu yang tidak jelas perbedaannya, sedangkan menurut istilah,
”suatu lafazh yang tidak jelas artinya dan untuk mengetahuinya diperlukan dalil dan qarinah”. (As-Sarakhsi, I, 1372 H : 168).
”yang dimaksud musykil adalah suatu lafazh yang tidak jelas maksudnya karena ada unsur kerumitan, sehingga untuk mengetahui maksudnya diperlukan adanya qarinah yang dapat menjelasan kerumitan itu,dengan jalan pembahasan yang mendalam.” (Muhammad Adib Salih,1982,I:254).
Perbedaan antara khafi dan musykil itu terletak pada dzatiah lafazh itu sendiri. Oleh sebab itu, musykil lebih tinggi kadar kemubhamannya daripada khafi. Sebagai contoh kata an-na pada surat Al Baqarah : 223 yang berarti: kaifa, aina, dan mata. Mana yang lebih cocok dari ketiga makna tersebut. Para ulama ada yang mengambil pengertian kaifa, seperti Ibnu Abbas dan Ikrimah dan lain- lain. Mereka mengartikan ayat itu adalah boleh menggauli istri bagaimana maunya, kecuali pada dubur dan diwaktu haid. Ada yang mengartikan, selagi ia menghendakinya.
3.1.3 Mujmal
Mujmal dalam bahasa adalah global atau tidak terperinci. Menurut istilah,
”lafazh yang tidak bisa dipahami maksudnya, kecuali bila ada penafsiran dari pembuat mujmal (Syari’)” (As-Sarakhsi,I,1372H :168)
Jadi mujmal itu adalah suatu lafazh yang dzatiahnya khafi, tidak bisa dipahami maksudnya, kecuali bila ada penjelasan dari syara’. Ketidakjelasannya dapat karena peralihan lafazh dari makna yang jelas pada makna khusus yang dikehendaki syara’, karena sinonim lafazh itu sendiri, ataupun karena lafazh itu ganjil artinya.
Karena penjelasan mujmal diperoleh dari syara’bukan hasil ijtihad sehingga mujmal lebih tinggi kadar khafa-nya daripada musykil. Contohnya lafazh shalat, menurut bahasa berarti doa, tetapi menurut istilah syara’adalah ibadah khusus yang segala sesuatunya dijelaskan oleh Rasullullah.
Namun keharusan adanya penjelasan dari syara’tentang lafazh mujmal itu timbul masalah, yaitu sejauh manakah penjelasan syara’ itu. Sunnah dapat memberikan penjelasan mujmal sepanjang tidak ada penjelasan nash Al-Quran. Oleh sebab itu untuk mencari penjelasan mujmal terlebih dahulu harus melihat nash Al-Quran.
3.1.4 Mutasyabih
Mutasyabih menurut bahasa adalah sesuatu yang mempunyai kemiripan dan atau simpang siur. Atau lafazh yang tidak ditunjukkan oleh lafazhnya itu sendiri kepada maksudnya itu dan tidak terdapat qarinah luar yang menerangkannya. 3 Menurut istilah,
berdasarkan pendapat sebagian ulama adalah ”suatu lafazh yang maknanya tidak jelas dan juga tidak ada penjelasan dari syara, baik Al-Quran maupun Sunah, sehingga tidak bisa diketahui oleh semua orang, kecuali orang- orang yang mendalam ilmu pengetahuannya” (Asy-Syarakhsi, I, 1372 H.: 169).

3.2 Pembagian Lafazh Ditinjau dari Segi Ketidakjelasannya menurut Ulama
Mutakallimin
Pendapat golongan Mutakallimin (syafi’iyyah) secara umum dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan mujmal adalah suatu lafazh yang menunjukkan makna yang dimaksud, tetapi petunjuknya tidak jelas, sehingga makna yang dimaksud lafazh itu memerlukan penjelasan, seperti, lafazh shalat dan zakat. Sebagian mereka ada yang menyamakan lafazh mutasyabih dengan mujmal, yaitu suatu lafazh yang tidak jelas maknanya, dan ada pula yang membedakan antara mujmal dan Mua’wwal. Hanya saja perbedaan antara mujmal dengan Mua’wwal terletak pada kuat (rajih) dan lemah (marjuh) makna yang di maksud. Makna yang dimaksud pada lafazh muawwal adalah lemah (marjuh), sedangkan makna yang terdapat pada lafazh mujmal adalah kuat (rajih).
Jadi dalam hal ini dalam lafazh mutasyabih adalah lemah (marjuh), Al-asnawi menegaskan bahwa lafazh mutsayabih itu tidak mempunyai makna yang kuat. Dari aspek ini, lafazh mutsayabih sama dengan mu’awwal atau mempunyai makna yang sama dari berbagai makna, sehingga dari aspek ini ia termasuk lafazh mujmal. Oleh karena itu, mutsayabih lebih umum daripada lafazh mujmal dan mu’awwal.
E. Takwil (Muawwal)
Secara etimologi berarti At-Tafsir, Al-Marja’, Al-Mashir, sehingga dari sudut bahasa mengandung arti Tafsir (penjelasan, uraian), atau Al-Marja’, Al-Mashir (kembali, tempat kembali), atau Al-Jaza’ (balasan yang kembali kepadanya), Menurut istilah,
”Sesungguhnay takwil itu merupakan ungkapan tentang pengambilan makna dari lafazh yang bersisfat probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang ditunjukkan oleh lafaz zhair.” (Imam Ghozali)
”Membawa makna lafazh zhahir yang mempunyai ihtimal (probabilitas) kepada makna lain yang didukung dalil.” (Imam Al-Amudi)
”Memalingkan lafazh dari zhahirnya, karena ada dalil (Wahab Khalaf).
”takwil adalah mengeluarkan lafazh dari artinya yang zhahir kepada makna lain, tetapi bukan zhahir-nya.”(Abu Zarhah).

Menurut Prof. Dr. Mahmud Basuni Faudah, Takwil berarti ungkapan atau penjelasan suatu pandangan.4 Kata takwil dapat ditemukan pada QS. Ali Imran 7, An Nisa 59, Yusuf 44, Yusuf 100. Ulama salaf à menegaskan, takwil adalah:
Menafsirkan kalimat dan menerangkan artinya, baik arti tersebut sama dengan bunyi lahiriah kalimat tersebut, ataupun berlawanan dengannya. (cakupannya: bab ilmu, dan rangkaian kalimat/keterangan seperti tafsiran, komentar, dan penjelasan).
Esensi dari apa yang dikehendaki oleh suatu kalimat. (cakupannya: esensi perkaran-perkara yang didapati di luar, baik terjadi pada masa lampau ataupun yang akan datang).
1. Objek Takwil
Kajian takwil kebanyakan adalah furu’ selain itu juga hal-hal yang jelas dan nash. Kajian takwil tidak mencakup nash-nash yang qath’i baik khusus maupun umum, tidak menyangkut hukum-hukum agama penting lainnya yang mudah ataupun sulit yang dipahami yang merupakan dasar-dasar syari’at, dan tidak mencakup peraturan-peraturan syari’at yang bersifat umum, demikian pula tidak mencakup muzmal yang ditafsirkan dengan dalil-dalil qath’i. Takwil juga tidak membahas lafazh-lafazh yang musytarak, karena lafazh musytarak merupakan lafazh yang ditetapkan untuk dua arti atau lebih yang dilakukan dengan sengaja berdasarkan hakikatnya.

2. Dalil-dalil penunjang takwil
Takwil pada dasarnya mencakup arti yang lemah yang memerlukan dalil untuk memperkuat praduga hasil takwil tersebut, sehingga artinya kuat, sehingga dalil penunjangnya harus lebih kuat daripada dalil penunjang arti secara bahasa.
Semua dalil yang digunakan harus sesuai dengan syara’ dan dianggap hujjah dalam syara’.
Dalil-dalil yang dipakai dalam takwi adalah sebagai berikut:
Nash yang diambil dari Al-Qur’an dan Sunnah
Ijma’
Kaidah-kaidah umum syariat yang siambil dari Al-Qur’an dan Sunnah.
Kaidah-kaidah Fiqh yang menetapkan bahwa pembentuk syariat memperhatikan hal-hal yang bersifat juz’i tanpa batas
Hakikat kemaslahatan umat
Adat yang diucapkan dan diamalkan
hikmah syariat atau tujuan syariat itu sendiri, yang terkadang berupa maksud yang berhubungan dengan kemashlahatan, perekonomian, politik, dan akhlak
Qiyas
Akal yang merupakan sumber perbincangan segala sesuatu (takwil qarib)
Kecendrungan memperluas pematokan hukum untuk berbagai tujuan dan merupakan dasar umum dalam pembinaan syariat yang bersifat ijtihadi, atau ijtihad dengan ra’yu
3. Takwil dihasilkan dari perubahan makna bukan perubahan Lafazh
Setiap mujtahid diharuskan untuk berpegang teguh pada arti zahir yang kuat dan tidak boleh mengamalkan berdasarkan arti lainnya yang dipandang lemah, meskipun sama-sama benar, selama tidak ada dalil lain yang kuat dan sahih.

4. Landasan Takwil
Landasan umum takwil adalah mengamalkan dalil sesuai konteks bahasanya dan mengambil ketetapan hukumnya. Takwil itu mencakup berbagai kemungkinan yang berasal dari akal, bukan bersumber dari bahasa. Takwil tidak akan ada kecuali dengan dalil.
Untuk menghindarkan dari kesalahan dalam berijtihad, juga sebagai cara meng-istimbath hukum dari nash dengan menggunakan takwil
jika arti nash itu sudah tentu mengandung hukum, jelas dan dalalahnya qath’i, maka tidak boleh ditakwilkan dengan akal.
Jika arti nash yang zahir itu berarti umum, atau berarti zhanni yang tidak pasti, wajib mengamalkan sesuai maknanya.
Dibolehkan mengubah arti dari yang zahir kepada arti yang lain sepanjang berdasar pada dalil, bahkan diwajibkan untuk untuk mengompromikan berbagai nash yang saling bertentangan.
5. Syarat Takwil
Adapun sayat takwil adalah :
Lafaz yang ditakwil, harus betul-betul memenuhi kriteria dan masuk dalam kajiannya. Dalam hal ini dalil-dalil yang yang telah ditafsirkan tidak bisa ditakwil. Menurut Hanafiayah takwil itu boleh sekalipun pada nash yang zahir dan semua dalil yang berhubungan dengan syariat islam.
Takwil harus berdasar dalil shahih yang bisa menguatkan takwil
Takwil berdasarkan dalil adalah Maslahat
“Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh”
Jadi “Dan ibu-ibu yang tidak sakit untuk menyusui anak-anak mereka sesuai kebiasaan adat, maka mereka menyusui anak mereka”
Penetapan harga ketika negara sedang dalam krisis karena seperti itu berlandaskan pada kemaslahatan umum.
Mentaksis keadaan umum dengan kemaslahatan
Keadaan umum maksudnya kemerdekaan umum atau dasar kebolehan sesuai firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 29.
“Dia-lah yang telah menjadikan untuk kamu semua apa-apa yang ada di bumi”
Diantaranya kemerdekaan jual beli, Rasulullah mengkhususkan kemerdekaan tersebut dalam muamalah dengan melarang jual beli yang menggambarkan adanya penghinaan terhadap makanan, demikian pula larangan jual beli gharar dan yang mengandung riba.
Lafazh mencakup arti yang dihasilkan melalui takwil melalui bahasa. Penakwilan menurut bahasa dilakukan dengan cara tekstual, kontekstual, atau majaz, bisa juga menckup azas yang berasal dari pemakian yang sudah dikenal atau adat syara’
Takwil tidak boleh bertentangan dengan nash yang qath’i karena nash tersebut bagian dari aturan syara’ yang umum
Arti dari dari penakwilan nash harus lebih kuat dari arti zhahir, yakni dikuatkan dengan dalil.
“…apabila kamu hendak mengerjakan sholat, basuhlah mukamu dan tanganmu sampi siku..”
Arti zahir dari ayat tersebut adalah mengharuskan berwudhu setelah mengerjakan sholat. Pemahaman seperti ini bertentangan dengan starat sahynya sholat yang mengharuskan berwudhu terlebih dahulu. Dan sayarat itu harus didahulukan, baik menurut akal maupun syara’ agar sholatnya sah.

F. Khas
Pegertiannya adalah “suatu lafazh yang dipasangkan pada suatu arti yang sudah diketahui (ma’lum) dan manunggal”
“Setiap lafazh yang dipasangkan pada suatu arti yang menyendiri, dan terhindar dari makna lain yang (musytarak).” (Al-Bazdawi).
Lafazh yang terdapat pada nash syara’ menunjukkan suatu makna tertentu dengan pasti selama tidak ada dalil yang mengubah maknanya itu. Menurut Hanafiyah, sesungguhnya lafaz khas sepanjang telah memiliki arti secara tersendiri, berarti ia sudah jelas dan tegas dengan ketentuan lafazh-lafazh itu sendiri.
Contoh, dalam Al-qur’an “Ruku’lah bersama orang-orang yang ruku”. Hanafiyah memandang bahwa ruku’ dalam sholat itu sebagai mana lafaz khas untuk suatu perbuatan yang ma’lum, yaitu condong dan berdiri tegak. Ruku’ yang diperintahkan itu merupakan fardhu sholat tanpa tuma’minah, sebaliknya ad hadis yang memerintahkan tuma’minah, “Berdirilah dan sholatlah karena engkau belum sholat.” Menurut mereka bila tuma’minah itu syarat sah sholat, berarti merupakan penambahan atas lafazh kkas Al-Qur’an yang jelas. Sehingga tuma’minah tidak fardu. Semetara menurut Golongan Syafi’i, tuma’minah yang disyaratkan oleh hadis ini merupakan penjelasan terhadap ayat Al-Qur’an dan termasuk fardu dalam ruku’.
Lafas Khas kadang-kadang berbentuk mutlaq (tanpa dibatasi oleh suatu syarat qayyid apapun), muqayyad (dibatasi oleh qayyid), amr (berbentuk perintah), dan nahy (berbentuk larangan).
G. ‘Amm
Lafazh ‘amm mempunyai tingkat yang luas, yaitu suatu makna yang mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu.
“Setiap lafazh yang mencakup banyak, baik secara lafazh maupun makna” (Hanafiyah), “Suatu lafazh yang dari suatu segi menunjukkan dua makna atau lebih” (Al-Ghazali), “Lafazh yang mencakup semua yang cocok untuk lafazh tersebut dalam satu kata” (Al-Bazdawi).
Suatu lafazh ‘amm yang disertai qarinah (indikasi) yang menunjukkan penolakan adanya takhsis adalah qath’i dilalah, dan yang disertai qarinah yang menunjukkan yang dimaksud itu khusus, mempunyai dilalah yang khusus pula.
Menurut Hanafiyah, pada lafazh ‘amm itu, kehendak makna umumnya jelas, tegas dan tidak memerlukan penjelasan, oleh karena itu Hanafiyah tidak mewajibkan tertib dalam berwudhu, karena dalam Al-Maidah ayat 6 sudah cukup jelas dan tegas tidak memerintahkan tertibnya berwudhu. Sedangkan Jumhur Ulama mewajibkan tertib dalam berwudhu berdasar hadis:
“Allah tidak menerima sholat seseorang sehingga ia bersuci sesuai tempatnya (tertib pelaksanaannya), maka hendaklah ia membasuh wajahnya kemudian dua tangannya”. Hadits ini menunjukkan keharusan tertib dalam berwudhu, sementara menurut Hanafiyah, tertib itu hanya sunat mu’akadah saja.
Sedangkan Imam Malik, tidak selamanya menjadikan khabar Ahad dapat mentakhsis lafazh ’amm Al-Qur’an walaupun memandang lafazh ‘amm Al-Qur’an adalah zhanni. Ia kadang-kadang berpegang pada lafazh ‘amm Al-Qur’an dan meninggalkan khabar ahad, namun kadang-kadang mentakhsis lafazh ‘amm Al-Qur’an dengan khabar Ahad. Seperti :
“Dan Allah menghalakan (menikah) selain itu (yang telah disebut)” ditakhsis dengan hadits “Wanita yang dilarang dinikahi, adalah bibinya, baik dari pihak ayah maupun ibu.”
Khabar Ahad yang dapat digunakan untuk mentakhsis lafazh ‘amm Al-Qur’an menurut Imam Malik adalah Khabar Ahad yang didukung oleh perbuatan penduduk Madinah atau dengan Qiyas.
Menurut Hanafiyah, bila lafazh ‘amm dan khas itu berbarengan waktu turunnya, maka lafazh khas dapat mentakhsis lafazh ‘amm. Apabila berbeda waktu, maka berlaku konsep masakh mansukh.
H. Amr (Perintah)
Amr adalah tuntutan dari atasan kepada bawahan untuk mengerjakan suatu pekerjaan, demikan definisi Jumhur Ulama. Definisi ini ditujukan pada semua kalimat yang mengandung perintah, karena kalimat perintah itu terkadang menggunakan kalimat majazi (samar).
Ada tiga pendapat tentang amr ini, yaitu
Amr itu secara hakikat menunjukkan wajib dan tidak bisa berpaling pada arti lain, kecuali bila ada qarinah (Al-Maidi, Asy-Syafii, para fuqaha, dan kaum mutakalimin).
Hakikat amr itu adalah nadb menurut mazhab Abu Hasyim dan sekelompok mutakllimin dari kalangan Mu’tazilah).
Amr itu musytarak antara wajib dan nadb, menurut pendapat Abu Mansur Al-Maturidi
Amr itu maknanya bergantung pada dalil yang menunjukkan maksudnya menurut Qadi Abu Bakar, Al-Ghazali, dll.
I. Nahayi (Larangan)
Nahyi adalah kebalikan dari Amr yakni lafazh yang menunjukkan tuntutan untuk meninggalkan sesuatu (tuntutan yang mesti dikerjakan) dari atasan kepada bawahan.
”Dan apa-apa yang Rasul datangkan (perintahkan) kepada kamu semua taatilah, dan apa-apa yang dilarang kepada kamu semua jauhilah.” (Al-Hasyr ayat 7)
Hakikat dalalah nahyi adalah untuk menuntut meninggalkan sesuatu, tidak bisa beralih makna, kecuali bila ada suatu qarinah (Abdul Aziz Al-Bukhari)
J. Mutlaq dan Muqayyad
Mutlaq adalah suatu lafazh yang menunjuk hakikat sesuatu tanpa pembatasan yang dapat mempersempit keluasan artinya, sedangkan muqayyad adalah suatu lafazh yang menunjukkan hakikat sesuatu yang dibatasi dengan suatu pembatasan yang mempersempit keluasan artinya.
1. Bentuk-bentuk mutlaq dan muqayyad
Kaidah lafazh mutlaq dan muqayyad dapat dibagi dalam lima bentuk:
Suatu lafazh dipakai dengan mutlaq pada suatu nash, sedangkan pada nash lain digunakan dengan muqayyad; keadaan ithlaq dan taqyid-nya bergantung pada sebab hukum.
Lafazh mutlaq dan muqayyad berlaku sama pada hukum dan sebabnya.
Lafazh mutlaq dan muqayyad yang berlaku pada nash itu berbeda, baik dalam hukumnya ataupun sebab hukumnya.
Mutlaq dan muqayyad berbeda dalam hukumnya, sedangkan sebab hukumnya sama.
Mutlaq dan muqayyad sama dalam hukumnya, tetapi berbeda dalam sebabnya.
2. Hukum Lafazh Mutlaq dan Muqayyad
Pada prinsipnya para ulama sepakat baik hukum lafazh mutlaq maupun hukum lafazh muqayyad itu wajib diamalkan kemutlakannya maupun kemuqoyyadannya. Namun dari lima bentuk tersebut, ada yang disepakati dan ada yang diperselisihkan. Yang disepakati ialah:
Hukum dan sebabnya sama, disini para ulama sepakat bahwa wajibnya membawa lafazh mutlaq kepada muqayyad.
Hukum dan sebabnya berbeda, dalam hal ini, para ulama sepakat wajibnya memberlakukan masing- masing lafazh, yakni mutlaq tetap pada kemutlakannya dan muqayyad tetap pada kemuqayyadannya.
Hukumnya berbeda sedangkan sebabnya sama. Pada bentuk ini, para ulama sepakat pula bahwa tidak boleh membawa lafazh mutlaq kepada muqayyad, masing-masing tetap berlaku pada kemutlakannya dan kemuqayyadannya.
3. Hal- hal yang Diperselisihkan dalam mutlaq dan muqayyad
Kemuthlaqan dan kemuqayyadan terdapat pada sebab hukum. Namun, masalah (maudu’) dan hukumnya sama. Menurut Jumhur ulama dari kalangan Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanafiyah, dalam masalah ini wajib membawa mutlaq Kepada muqayyad. Oleh sebab itu, mereka tidak mewajibkan zakat fitrah kepada hamba sahaya. Sedangkan ulama hanafiyah tidak mewajibkan membawa lafazh mutlaq dan muqayyad.Oleh sebab itu, ulama Hanafiyah mewajibkan zakat fitrah atas hamba sahaya secara mutlaq.
Mutlaq dan muqayyad terdapat pada nash yang sama hukumnya, namun sebabnya ber-beda. Masalah ini juga diperselisihkan. Menurut ulama Hanafiyah tidak boleh membawa mutlaq pada muqayyab, melainkan masing-masingnya berlakusesuai dengan sifatnya.Oleh sebab itu, ulama Hanafiyah, pada kafarat zihar tidak mensyaratkan hamba mukmin. Sebaliknya, menurut jumhur ulama, harus membawa mutlaq kepada muqayyab secara mutlak. Namun menurut sebagian ulama Syafi’iyah, mutlak dibawa pada muqayyab apabila ada illat hukum yang sama, yakni dengan jalan qiyas. (Al-Amidi, 1968 : II : 112)
K. Mantuq Dan Mafhum
Dilalah mantuq didefinisikan sebagai petunjuk lafazh pada hukum yang disebut oleh lafazh itu sendiri. Dalam hal ini meliputi tiga dilalah yang dipakai dalam istilah Hanafiyah, yaitu ibarat, isyarat, dan iqtida nash.
Sedangkan dilalah mafhum ialah petunjuk lafazh pada suatu hukum yang tidak disebutkan oleh lafazh itu sendiri, melainkan datang dari pemahaman. Dilalah mafhum tersebut dalam istilah Hanafiyah disebut dilalah nash.

1. Mafhum
Selanjutnya mafhum terbagi menjadi mafhum muwafadah dan mafhum mukhalafah.
Mafhum muwafaqah adalah suatu petunjuk kalimat yang menunjukkan bahwa hukum yang tertulis pada kalimat itu berlaku pada masalah yang tidak tertulis, dan hukum yang tertulis ini sesuai dengan masalah yang tidak tertulis karena ada persamaan dalam maknanya. Hal ini dapat diketahui dengan pengertian bahasa, tanpa memerlukan pembahasan yang mendalam ataupun ijtihad. Mafhum muwafaqah dikenal pula dengan nama fahwa al-khitab (untuk masalah tak tertulis, petunjuk yang ditekankan oleh lafazh) dan lahn al-khitab (untuk masalah yang sama tingkat hukumnya dengan masalah lain yang tidak tertulis, petunjuk yang terpancar dari lafazh). Disebut mafhum muwafaqah karena hukumnya yang tidak tertulis sesuai dengan hukum yang tertulis
Mafhum al-mukhalafah adalah petunjuk lafazh yang menunjukkan bahwa hukum yang lahir dari lafazh itu berlaku bagi masalah yang tidak disebutkan dalam lafazh itu, yang hukumnya bertentangan dengan hukum yang lahir dari mantuq-nya, karena tidak adanya batasan (kayd) yang berpengaruh dalam hukum. (Lihat Ibnu Al-Hajib jilib II hal.172, al-Amidi jilid II:99, Al-Mahalli,I:245 dan Zakiyuddin Sya’ban:43). Mafhum mukhalafah disebut juga dalil khitab. Suatu dilalah dinamakan mafhum mukhalafah karena hukum yang disebutkan berbeda dengan hukum yang tidak disebut
Ulama Hanafiyah tidak memandang mafhum mukhalafah sebagai salah satu metode penafsiran nash-nash syara’. Tegasnya menurut mereka, mafhum mukhalafah itu bukan suatu metode untuk penetapan hukum. Alasannya :
1. Sesungguhnya banyak nash syara’ yang apabila diambil mafhum mukhalafah akan rusak pengertiannya, antara lain seperti ayat mengatakan bahwa berbuat zalim diharamkan hanya pada empat bulan tersebut saja, sedangkan diluar itu tidak haram. Padahal berbuat zalim itu diharamkan pada tiap saat.
2. Sifat- sifat yang terdapat pada nash syara’, dalam banyak hal bukan untuk pembatasan hukum, melainkan untuk targib dan tarhib. Misalnya ayat yang mengatakan Sifat anak tiri, adalah anak tiri yang ada dalam pemeliharaan. Apabila diambil mafhum mukhalafah-nya, hal itu berarti mengawini anak tiri yang diluar pemeliharaan adalah halal. Padahal syara’ tetap mengharamkan.
3. Seandainya mafhum mukhalafahnya itu dapat dijadikan hujjah syara’ maka suatu nash yang telah menyebut suatu sifat tidak perlu lagi disebut nash yang menerangkan hukum kebalikan hukum dari sifat tersebut. Pada kenyataannya penyebutan seperti itu banyak ditemukan.
Menurut jumhur ushuliyyin, mfhum mukhalafah dapat dijadikan sebagai hujjah syara’. Alasannya antara lain :
1. Berdasarkan logika, setiap syarat atau sifat tidak mungkin dicantumkan tanpa tujuan dan sebab. Sebabnya itu tidak lain adalah untuk qayyid (pembatasan) hukum selama tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa dicantumkannya suatu sifat itu untuk tarqib, tarhib, dan tanfir.
2. Sikap Rasulullah yang tidak menyalahkan Umar Ibnu Khathab dalam memahami mafhum mukhalafah dari ayat 101 An-Nisa’ Namun, Rasulullah menjelaskan bahwa qasar shalat dalam perjalanan diperbolehkan sekalipun dalam keadaan aman.
Dengan sayarat :
1. Mafhum mukhalafah-nya itu tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat, seperti Mantuq atau mafhum muwafaqah.
2. Qayid atau pembatasan yang terdapat pada suatu nash tidak berfungsi yang lain.
3. Tidak ada dalil khusus yang membatalkan mafhum mukhalafah itu, seperti ayat:
“Laki-laki tidak wajib diqisas apabila ia membunuh wanita, dibatalkan dengan ayat 45 surat Al-Ma’idah, dan hadis”.(Abu Zahrah : 152)
Apabila qayid dalam hukum mantuq berlaku pada mafhum mukhalafah maka mafhum mukhalafah ini bisa terdiri atas bermacam-macam qayid. Al-Amidi menghitung jumlah mafhum itu sebanyak sepuluh macam, yaitu: mafhum sifat, mafhum illat, mafhum syarat, mafhum a’dad, mafhum gayah, mafhum hasr, mafhum hal, mafhum zaman, dan mafhum makna. Asy-Syaukani juga menyebutkan mafhum mukhalafah seperti itu, namun ia memasukkan ketiga mafhum yang disebut terakhir pada mafhum sifat. (Asy-Syaukani, 1973: 181-183).


Posting Komentar

0 Komentar