Telusuri

Maqashid Al-Syari’ah

A. Pengertian Maqashid Al-Syari’ah
Maqashid Al-Syari’ah Scara etimologi i adalah
المعانى التى شرعت لها الاحكام“suatu kandungan nilai yang menjadi tujuan pemberlakuan suatu hukum”.

Maqashidul Al-Syari’ah secara terminologi adalah tujuan-tujuan yang hendak dicapai dari penetapan suatu hukum yang diturunkan Allah SWT kepada makhluk mukallaf. Dalam konteks tujuan yang dimaksud di atas adalah kemaslahatan umat manusia. Hal ini merujuk kepada ungkapan Imam Syathibi:
الاحكام مشروعة لمصالح العباد“hukum-hukum disyari’atkan demi kemaslahatan para hamba”.

Penetapan hukum Allah SWT pasti mengandung suatu misi bagi kemaslahatan manusia. Penetapan ini dibagi menjadi dua katagori; Pertama, Perintah Allah SWT yang bersifat jelas (qath’i). Kedua, perintah Allah SWT di dalam Al-Qur’an yang masih samar (zhanni)dan bersifat umum (mujmal), maka ranah ini merupakan wilayah Ulama guna menafsirkannya dengan kompetensi dan kualifikasi yang memadai

B. Sejarah Maqashid al-Syari’ah
Maqashidul al-Syari’ah merupakan ruh dari semangat penegakan syari’at Islam. Meski demikian tidak banyak catatan sejarah yang merekam kapan pastinya istilah ini untuk pertama kalinya diistilahkan. Dari literatur yang ada, dikenal adanya dua pendapat yang memperkenalkan istilah al-Maqashid. Pertama adalah Imam Turmudzi r.a, tokoh ini sebelumnya lebih termasyhur sebagai Ulama Hadits. Tokoh hadits ini di dalam sejumlah karyanya terkesan mulai merumuskan term-term Maqashidul al-Syari’ah, hal ini dapat terbaca pada kitab al-shalah wa Maqashiduhu, al-Haj wa Asraruh, ‘Ilal al-Syari’ah, ‘Ilal al-‘Ubudiyyah dan al-Furuq. Pasca tokoh hadits ini kemudian sejarah mencatat kontribusi Imam Abu Mansur al-Maturidi (w. 333 H) di dalam karyanya Ma’khad al-Syara’, berturut-turut kemudian Abu Bakar al-Qaffal al-Syasyi (w. 365 H) dengan karyanya Ushul al-Fiqh dan Mahasin al-Syari’ah; Abu Bakar al-Abhari, al-Baqillani, al-Juwaini, al-Ghazali, al-Razi, al-Amidi, Ibnu Hajib, al-Baidhawi dan seterusnya. Adapun pendapat pertama ini digagas oleh Ahmad Raisuni.

Pendapat kedua adalah menurut versi Yusuf Ahmad Muhammad al-Badawi, Maqashidul Al-Syari’ah dalam hal ini terbagi ke dalam dua fase besar antara sebelum dan sesudah Ibnu Taimiyyah. Pasca Ibnu Taimiyyah kemudian dikenal tokoh-tokoh lanjutannya seperti Imam Ghazali, Ibnu Abdissalam, Najmuddin at-Thufi, dan Imam al-Syathibi. Pada level selanjutnya hingga dewasa ini, maka Imam al-Syathibi adalah tokoh yang dikukuhkan sebagai Bapak Maqashidul Al-Syari’ah sebagai tokoh peletak dasar ilmu Maqasid sistemik dalam karya monumentalnya al-Muwafaqat


C. Pembagian Term Maqashid Al-Syari’ah
Parameter kemaslahatan bagi umat manusia adalah ketika unsur-unsur fundamental seseorang telah terjaga. Dalam hal ini terdapat lima indikator kemaslahatan manusia :
1. Hifzh al-Din (keterjagaan akan agamanya);
2. Hifzh al-Nafs (keterjagaan akan jiwanya);
3. Hifzh al-Nasl (keterjagaan akan keturunannya);
4. Hifzh al-Maal (keterjagaan akan hartanya);
5. Hifzh al-Aqli (keterjagaan akan daya intelektualnya).

Dalam rangka stratafikasi hukum, kelima indikator di atas kemudian terbagi ke dalam tiga klasifikasi tujuan penetapan hukum:
a. Maqashid al-Dharuriyyat
Maqashid al-Dharuriyyat adalah sesuatu yang harus ada demi keberlangsungan hidup dan kehidupan manusia (primer), bila hal ini tidak terpenuhi maka akan berakibat kelabilan bagi kehidupan seorang manusia. Maqashid al-Dharuriyyat meliputi kelima indikator pokok (hizhfu al-din, hizhfu al-nafs, hizhfu al-nusl, hizhfu al-maal, hizhfu al-aqli ) sebagai syarat terciptanya kemaslahatan hidup dan kehidupan seseorang manusia. Model operasional Maqashid al-Dharuriyyat diaplikasikan ke dalam kehidupan manusia secara tertib sesuai dengan stratafikasi urutannya.
Terdapat dua metode guna menjaga keberlangsungan Maqashid al-Dharuriyyat, yaitu: (1) Perspektif adanya (min naniyyati al-wujud), yaitu dengan cara menjaga serta memelihara berbagai hal guna dapat melestarikan keberadaanya. (2) Perspektif tidak adanya (min naniyyati al-adam), yaitu dengan cara mencegah berbagai hal yang menyebabkan ketiadaannya.

b. Maqashid al-Hajiyyat
Maqashid al-Hajiyyat adalah upaya-upaya lanjutan dari Maqashid al-Dharuriyyat dengan menjadikannya lebih baik lagi (sekunder), intinya adalah guna menghilangkan kesulitan pasca terpenuhinya Maqashid al-Dharuriyyat. Ketiadaan Maqashid al-Hajiyyat tidak akan mengancam eksistensi lima indikator pokok Maqashid al-Syari’ah, namun saja akan berpotensi menimbulkan kesukaran dan kerepotan di dalam kehidupan manusia. Dalam hal ini dapat mengangkat term rukhshah, contohnya adalah menjamak dan mengqashar shalat bagi musafir.

c. Maqashid al-Tahsiniyyat
Maqashid al-Tahsiniyyat bertujuan demi kesempurnaan pemeliharaan lima unsur pokok Maqashid al-Syari’ah. Manifestasinya adalah berupa kebutuhan penunjang peningkatan martabat seseorang sesuai dengan derajatnya baik dalam kehidupan masyarakat maupun di hadapan Allah SWT. ari’ah Menur ut Imam Al-Syathibi.

D. Kesimpulan
Ajaran Islam secara praktis disyari’atkan guna memperjuangkan keberlangsungan ke lima indikator Maqashid al-Syari’ah ini sebagai misi utamanya guna terciptanya suatu kemaslahatan bagi kehidupan manusia. Dalam redaksi lain disebutkan bahwa tujuan pembuatan syara’ dalam menetapkan hukum berakhir pada kepentingan manusia, yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghilangkan kemafsadatan bagi mereka sebagai mukallaf atau hamba-hamba Allah SWT yang shaleh.

Posting Komentar

0 Komentar